KAJIAN NASKAH DRAMA
DOR
KARYA PUTU WIJAYA
I. DESKRIPSI NASKAH DRAMA
Naskah
drama berjudul “DOR” ini, karya Putu Wijaya. Naskah drama ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Diterbitkan pertama pada
tahun 1986, dan ini adalah cetakan ketujuh pada tahun 2003.
Naskah
drama DOR in dirancang oleh Hanoeng Soenarmono. Untuk ilustrasinya, pada bagian
cover depan di sini memiliki dasar warna setengah putih setengah hitam, yang
mewakili/memiliki makna dari tema naskah drama ini yaitu keadilan.
Di sini
di cover ada gambar wajah setengah, apakah ini wajah Putu Wijaya? Dan kenapa
gambar wajah ini berada di posisi warna hitam? Kenapa tidak di posisi warna
putih? Untuk penulisan judul juga memakai ukuran huruf yang cukup besar dengan
warna merah. Selain itu dicantumkan juga nama pengarang “Putu Wijaya” dengan
ukuran cukup besar dengan warna dominan ungu dibalut warna kuning. Untuk bagian
belakang cover memakai warna putih saja.
II.
DESKRIPSI
PENGARANG
Putu
Wijaya bernama asli I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pada tanggal 11 April 1944. umur 65 tahun.
Putu
Wijaya adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah
maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan
punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan
punggawa. Yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu
jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa
dan ilmu bumi.
Putu
Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 Novel , 40 artikel lepas dan kritik drama.
Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia
memimpin teater Mandiri sejak 1971 dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam
maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan
skenario sinetron. Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian
Kompas dan Sinar Harapan. Novel-ovel karyanya sering muncul di majalah Kartini,
Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala
citra di Festival Film Indonesia (FFI) untuk Perawan Desa (1980) dan Kembang
Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang
dihasilkannya. Diantaranya yang banyak diperbincangkan adalah “Bila Malam
Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-tiba Malam, Sobat, Nyali.”
III.
SINOPSIS
Naskah
drama ini menceritakan tema hukum dan keadilan. Bermula dari kejadian seorang
wanita yang dibunuh lelaki yang kebetulan dia anak Gubernur. Hakim yang menjadi
sorotan di naskah ini merasa kesulitan untuk menegakkan keadilan Apakah harus
menghukum lelaki itu? Tetapi baya tekanan. Akhirya sobat hakim menunjukan bahwa
keadilan harus ditegakkan. Tetapi hakim benar-benar kesulitan untuk menegakkan
keadila ini. Mulailah banyak tekanan pada hakim dimulai dari kelompok bendera
putih disertai munculnya kelompok
berbaju hitam. Semuanya menjadi panas, dan serba salah. Tetapi keputusan harus diambil. Akhirnya si
anak di “dor” hingga mati dan mayatnya digantung oleh sekelompok orang yang
tidak puas dengan praktik pengadilan, sang ayah kemudian berbalik membela
martabat anaknya dengan menge’dor” hakim. Jadilah kebenaran itu adalah “Dor”.
IV.
KAJIAN
NASKAH DRAMA
A.
Unsur Ekstrinsik
Pengarang
benar-benar interes pada masalah sosial politik, hal ini berkaitan dengan Putu
Wijaya sebagai sosok yang menyukai sejarah, bahasa dan ilmu bumi. Sebagai
realitas objektif, hukum dan keadilanlah yang dihadirkan.
B.
Unsur Intrinsik
Ÿ
Tokoh, peran dan karakter
-
Pengarang memakai penamaan berupa jabatan.
-
Peran dalam tokoh
Lion = hakim, pelayan, jaksa, salah seorang, saksi,
sobat, Lan fa.
Mars = Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur,
Pembela
Sun = Ali
Eart = La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu
Gubernur.
Scale = Hakim, Gubernur
Moom = Petugas, pelayan, saksi, tamu, 5 perempuan,
inem, para pelacur, kelompok berbju hitam, kelompok dengan bendera putih.
Ÿ
Motif, konflik, peristiwa dan Alur
-
Banyak sekali motif
-
Alur non konvensional
P1 à
P2 à P3
(Ali membunuh) (persidangan) (konflik memuncak )
à
P4 à P4a à
P4b
(Konflik mereda) (Lan Fa) (memanas)
à P5
(penyelesaian)
Ÿ
Latar dan Ruang
-
Latar di pengadilan dan perkampungan pelacur
-
Ruang ada ciri khas dari “DOR’ karya Putu Wijaya
ini.
Ÿ
Penggarapan bahasa
-
Memakai bahasa Indonesia
-
Bahasa Betawai
-
Ada gaya bahasa sedikit
Ÿ
Tema dan amanat
-
Tema à kebenaran
-
Amanat à keadilan penting untuk kebenaran
V.
PEMBAHASAN
A.
Unsur Ekstrinsik
A.1. Pengarang
Di sini pengarang mengangkat hukum dan
keadilan sebagai tema. Pengarang benar-benar interes pada permasalahan sosial –politik, sensitivitas
(kepekaan) pengarang cenderung pada hal hukum dan keadilan.
A.
2. Realitas Objek
Pengarang
cukup nyata untuk mengangkat realitas hukum dan keadilan. Karena hal itu memang
sulit dicari, sulit mencari keadilan.
B.
Unsur Intrinsik
B.1 Unsur tokoh, Peran dan karakter
Dalam penokohan : Di sini pengarang memiliki cara penamaan
berupa gelar dan jabatan, hanya sedikit menggunakan nama biasa. Putu Wijaya
melakukan semua ini agar tokoh-tokohnya bisa berbuat seenaknya. Banyak tokoh
dengan nama seperti : petugas I, petugas II dll. Di sini juga sudah jelas
kaitan antara nama dengan latar contoh : nama hakim, jaksa sudah jelas latar di
sini adalah pengadilan. Tokoh-tokoh dalam naskah drama DOR ini memang multi
peran.
Untuk peran tokohnya :
Lion = hakim, pelayan, jaksa, salah seorang, saksi,
sobat, Lan fa.
Mars = Tamu, Ali, Yulia, Gubernur, Ibu Gubernur,
Pembela
Sun = Ali
Eart = La Fa, Al, Gubernur, Hakim, Yulia, ibu Gubernur.
Scale = Hakim, Gubernur
Moom = Petugas, pelayan, saksi, tamu, 5 perempuan,
inem, para pelacur, kelompok berbaju hitam, kelompok dengan bendera putih.
Untuk karakter dalam naskah drama ini, sangat menarik dan
tidak monoton, karena Putu Wijaya dapat mengatur karakter yang berbeda.
Contohnya saja karakter Hakim dengan gubernur.
B.2. Motif, Konflik, Peristiwa dan Latar
-
Untuk motif
banyak sekali diataranya
§
Motif kenapa Ali membunuh wanita itu,
§
Motif kenapa Hakim disogok
§
Motif kenapa pelayan menerima sogokan
§
Motif kenapa Yulia membela Ali
§
Motif kenapa Lan fa bisa bertahan hidup dan
masih banyak lagi.
-
Alur
1)
Alur dalam naskah drama ini sangat kausalitas.
Contohnya : karena hakim sering menundan keputusan mengakibatkan para kelompok
dan pihak pembela mendatangi hakim.
Contoh lain : karena pelayan (Alimin)
jarang memberikan uang kepada pacarnya (Inem), mengakibatkan Inem menerima
sogokan Yulia.
2)
Untuk alur konvensional dan non konvensional, naskah
drama ini menunjukkan peristiwa-peristiwa yang membangun drama seperti
terlepas-lepas tanpa kaitan yang jelas, (nonkonvensional).
-
Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan konflik :
Dalam setiap cerita, pasti konflik menjadi nadi
suatu cerita, seperti film dan sinetron, karena tanpa konflik rasanya drama tidak
bernilai apa-apa.
-
Pada intinya konflik yang dominan di sini adalah benar
dan salah. (Keadilan)
B.3. Latar dan
Ruang
Untuk latar, sesuai dengan prinsip drama, latar dibuat
sesederhana mungkin, karena pengarang ingin mementaskannya. Untuk drama ini
latarnya dan Pengadilan dan perkampungan pelacur.
Unruk ruang, dalam naskah drama ini menurut saya Putu
Wijaya sangat unik untuk menjelaskan ruang, Putu Wijaya memiliki kekhasan yaitu
pada setipa pergantian tokoh/peran berbicara.
Selain keunikan itu, ungkapan-ungkapan yang terdapat di
dalam teks drama yang mengandung indikasi-indikasi tentang ruang ditunjukan :
contoh
“Terdengar suara yang lemah. Kemudian orang-orang
berpakaian hitam dengan payung-payung hitam muncul. Mereka berseliweran
mendekati tempat pelayan”. Itu menunjukan suatu ruang yang sesak dan penuh
ketegangan.
B.4. Penggarapan
Bahasa
Untuk
bahasa yang dipergunakan pengarang dalam naskah drama ini, memakai bahasa
Indonsia yang baik dan benar. Ketika terjadi suasana tegang/marah, bahasa-bahasa
amarah keluar, sada kata-kata goblok selain itu pada halaman lainnya ada kata-kata tolol , brengsek! Dan masih banyak lagi. Tetapi ada juga bahasa keagamaan,
seperti mengucap nama “Allah”..
Pada halaman berikutnya ada kata “justa”
yang tidak dimengerti. Apakah itu bahasa hukum? Selain itu ada kata “berkeplok
tangan” yang cukup aneh, mungkin sama dengan bertepuk tangan.
Ada majas : “terlihat
tubuh-tubuh terapung di udara”.
Untu
teori gaya
bahasa pertentangan lebih cenderung sebagai tokoh antagonis dan wataknya
pembangkang. Tokoh yang menggunakan gaya
bahasa sindiran akan memberi petunjuk bahwa tokoh tersebut berwatak “penakut”
tidak berani berterus terang. Tokoh yang menggunakan gaya bahasa penugasan akan memberikan
petunjuk pula bahwa setidak-tidaknya tokoh tersebut merupakan tokoh yang
berpikiran dan berpandangan serius dan mungkin sekali penuh idealis. Pernyataan
itu semua memang benar, tetapi dalam naskah drama ini Putu Wijaya lebih
jelas/langsung menggambarkannya, tanpa gaya
bahasa. Tapi menggambarkanya melalui karakternya.
B.5. Tema (Premisse) dan Amanat
Hukum
dan keadilan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Dalam drama karya Putu Wijya ini, dua hal tersebut diangkat menjadi
sebuah tema dilematis, betapa sulitnya mencari keadilan.
Putu
Wijaya ingin menunjukan kepada kita sebuah komunitas masyarakat yang sedang
mengalami penghancuran kepribadian. Untuk mengatakan bahwa benar itu benar dan
yang salah itu salah, seringkali harus mengorbankan jati diri seorang manusia
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya, Putu. 2003. DOR. Jakarta : Balai Pustaka
WS, Hasanuddin.1996.
Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung
: Angkasa.
Putu Wijaya
(tokohidonesia-com).
0 comments:
Post a Comment